Pro-Kontra pornografi dalam masyarakat tak ada
habis-habisnya. Apa dan bagaimana pornografi itu belum ada batasan yang jelas.
Bahkan hingga saat ini, batasan pornografi masih beragam dan masih menjadi
perdebatan publik. Dalam kamus Inggris-Indonesia karya Hasan Shadily porno
diartikan sebagai gambar atau bacaan cabul. (Harian Terbit, 24/1/06). Di pihak
lain, dengan mengatasnamakan seni, selalu berkata “Ini seni, bukan pornografi”.
Mereka berlindung di balik seni yang “agung”, demi menghalalkan karya mereka
yang dapat merusak moral. Orang-orang awam mungkin akan berpikir bahwa seni
selalu identik dengan seksualitas dan pornografi. (Koran Sindo, 17/3/06).
Lepas dari itu, kita berpendapat bahwa masalah ini
sangat tidak layak untuk diperdebatkan. Sebab pornografi identik dengan zina,
sedangkan zina tidak ada agama pun yang merestuinya. Terlebih lagi agama Islam
yang menganggap zina sebagai sesuatu yang keji dan dosa besar. Demikian juga
dengan akal sehat, menolak zina dan pornografi. Tidak ada yang merestui
tersebarluasnya pornografi, kecuali mereka yang telah dibutakan oleh Allah SWT
mata hatinya. Mengizinkan terbitnya majalah pornografi berarti membuka
lebar-lebar pintu perzinahan.
Perbedaan pemahaman seputar
pornografi dan pornoaksi sebenarnya diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang
sebagai dasar pijakan. Paling tidak ada dua sudut pandang yang mengemuka, yaitu
pandangan sekular dan pandangan Islam. Pandangan sekular mengacu pada teori
Freudisme.[1] Adalah Sigmeund Freud,
seorang ahli psikoanalisa tersohor keturunan Yahudi, yang mencetuskan teori
ini. Menurut teori ini dikukuhkan bahwa libido/seksual adalah mesin penggerak
utama bagi kehidupan. Tanpa adanya hal-hal berbau seksualitas maka kehidupan
akan berjalan lesu, terasa hambar tanpa gairah. Hingga akhirnya kreatifitas
untuk berkarya secara maksimal pun musnah.[2]
Masyarakat yang
mendewa-dewakan teori ini menganggap segala sesuatu yang beraroma seksual
(tercakup di dalamnya pornografi dan pornoaksi) bukan saja diperbolehkan
adanya, tetapi bahkan menjadi suatu hal yang niscaya. Pornografi dan pornoaksi
dipuja-puja sebagai penyelamat bagi kelangsungan hidup tanpa dibatasi oleh
norma-norma dan nilai-nilai agama. Maka tak pelak, laju kehidupan dikendalikan
oleh kebebasan mengekspresikan pornografi dan pornoaksi dalam beragam
bentuknya. Seks bebas (free sex), salah satu bentuknya, lantas
menggejala sebagai suatu budaya yang dilegalkan.
Pandangan sekular dengan
mengacu teori itu pun menginspirasi para pelaku bisnis. Bisnis esek-esek dengan
ikon pornografi dan pornoaksi ternyata sanggup mendulang keuntungan yang
berlipat-lipat. Melansir data Kompas (29/5/2006), sebuah industri kafe
malam dan karaoke (bukan tidak mungkin digunakan pula sebagai kawasan
prostitusi terselubung) di Jawa Barat mampu meraup hasil 3,4 miliar pertahun.
Bahkan tabloid Lipstik hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasional
dalam sebulan, tetapi pendapatannya dari iklan berlipat ganda, yakni Rp 60 juta.[3] Sungguh jumlah keuntungan yang fantastis!
Dari sudut pandang Islam,
teori semacam itu ditolak mentah-mentah. Tanpa menghamba pada pemujaan
seksualitas, sejarah keemasan Islam telah mencatat tokoh-tokoh mumpuni yang
melahirkan karya-karya monumental. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang
menjadi pelopor disiplin keilmuan tertentu saat ini. Sebut saja, misalnya,
al-Khawarizmi yang dikenal sebagai peletak dasar-dasar matematika, Ibnu Sina yang
masyhur dengan julukan Bapak Kedokteran, dan Ibnu Khaldun dengan predikat Serba
bisa.
Islam meletakkan masalah
pornografi dan pornoaksi sebagai bagian dari kebutuhan naluriah sebagai
bandingan terbalik dari kebutuhan fisik (W.M. Watt, 2002). Kedua jenis
kebutuhan ini memang perlu dipenuhi, tapi karakter keduanya berbeda. Kebutuhan
fisik akan muncul dengan sendirinya (faktor internal) dan jika tidak dipenuhi
akan menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena itu, kebutuhan fisik mutlak
menuntut pemenuhan, seperti makan dan minum.
Sedangkan kebutuhan naluriah
tidak mutlak dipenuhi sebab kebutuhan jenis ini datang akibat faktor eksternal.
Tuntutan pemenuhan kebutuhan naluriah dapat dialihkan pada hal-hal lain.
Dorongan seksual termasuk dalam kategori kebutuhan jenis ini. Pornografi dan
pornoaksi adalah sarana efektif untuk memunculkan dorongan seksual ini. Karena
itu, wajar jika banyak kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya
disebabkan oleh karena pelakunya sering menonton pornografi dan pornoaksi.
Ini artinya, pornografi dan
pornoaksi menjadi piranti bagi timbulnya perzinahan. Islam sendiri secara tegas
menyerukan untuk menjauhi zina sebab tergolong perbuatan yang keji (Q.S.
al-Isra [17]: 32). Maka, sangat jelas dalam pandangan Islam pornografi dan pornoaksi
tegas dilarang dengan alasan apapun.
Dalam prespektif Al-Quran. Batasan pornografi sudah
sangat jelas sekali. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut ini.
Yang Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan
janganlah mereka menampakkan perhiyasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (QS.
An-Nur [24] : 31)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.
Yang Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’mun: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33] : 59)
Ibnu Abbas, dan ‘Aisyah r.a. menafsirkan firman Allah
SWT “… Illaa maa zhahara minhaa…”(An-Nur [24] : 31), kecuali yang nampak
darinya wajah dan kedua telapak tangan, artinya boleh nampak dari anggota tubuh
wanita muslimah hanyalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan
tangan, sedangkan anggota tubuh yang lainnya wajib ditutup.
Penafsiran ayat tersebut, wajah dan kedua telapak tangan
adalah pendapat yang masyhur dari Jumhur Ulama, mufassirin diantaranya, Ibnu
Umar, ‘Athaa, Ikrimah, Saad bin Zubair, Abu Asy-Sya’tsaa’, Ad Dhihak, Ibrahim
An Nakha’i dan yang lainnya. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata:
“Kemungkinan Ibnu Abbas dan yang mengikutinya ingin menafsirkan “… Illaa
maa zhahara minhaa…” dengan wajah dan dua telapak tangan dan ini
adalah masyhur dari Jumhur Ulama”.
Disamping itu, Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah,
mengatakan “Aurat wanita muslimah seluruh badan, kecuali wajah dan kedua
telapak tangan, tepatnya dari ujung jari sampai pergelangan tangan, sedangkan
anggota tubuh lainnya termasuk katagori aurat wajib ditutup”, berdasarkan surat (QS. An-Nur [24] :
31).
Demikian juga, hal senada dikemukakan Mazhab
Hanafiyah, “Seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan kedua telapak
tangan.” Dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan
wanita bukan aurat, dalam hal ini dalil-dalil mazhab Hanafiyah tidak berbeda
dengan dalil-dalil mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, yaitu surat (QS. An-Nur [24] : 31).
Secara singkat dari penjelasan di atas, bisa diambil
sebuah simpulan. Bahwa menutup aurat di luar dan di dalam Salat hukunya wajib.
Seluruh anggota tubuh wanita yang telah baligh adalah aurat, kecuali yang boleh
nampak wajah dan kedua telapak tangan. Di samping itu, dari kedua agama
tersebut, baik agama Islam atau Kristen mewajibkan wanita untuk memakai Jilbab.
Maka, penegasan ini perlu diketahui khalayakramai, mengingat pentingnya memakai
Jilbab. Pakaian jilbab berfungsi untuk memelihara kehormatan, menjaga kesucian,
dan keteguhan iman bagi memakainya. Bagi wanita muslimah, jilbab menjadi
pakaian kebesaran yang memiliki nila-nilai luhur, menampilkan keayuan,
keanggunan, dan menawan.
Di samping itu, Hj. Bainar, dalam karyanya; Membantu
Remaja Menyelami Dunia Dengan Iman dan Ilmu, (2005:178,178). Ia menjelaskan.
“Wanita muslimah yang berjilbab secara konsisten akan melahirkan sikap pribadi
yang teguh dan tawadduh. Di tempat lain, mereka yang berjilbab diberi stigma
yang kurang mengenakan, dibilang sok moralis, sok suci, sok alim sehingga
mereka minder, malu, dan risih dengan pakaian muslimahnya. -Tidak hanya itu,
terkadang dituduh ekstrimis, Islam garis keras,- dan wanita yang berjilbab
dihubung-hubungkan dengan terorisme, Al-Qaeda dan lainnya. Ini memberikan angin
segar demi berkembangnya pakaian yang kurang Islami, you cen see dan
pakaian minim itu lebih mendapat tempat di hati masyarakat, padahal pakaian
muslimah ini menjamin kesucian dan meredam mata laki-laki yang jalang.
Satu hal yang sepatutnya kita ingat selalu, bahwa
keselamatan bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Perbuatan segelincir
orang yang menyebarluaskan pornografi dan kecabulan akan mengundang turunnya
kutukan dan azab Allah SWT. Dan apabila adzab Allah tersebut turun, maka tidak
hanya menimpa para penerbit media pornografi itu saja, tetapi akan menimpa
seluruh rakyat.
Hal ini
sebagaimana diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya.
Yang Artinya: “Dan periharalah dirimu daripada
siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu.
Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal [8] :
25)
Oleh karena itu, siapa saja yang peduli dengan
keselamatan bangsa ini wajib mencegah atau memberantas pornografi dan
majalah-majalah cabul. Cukuplah musibah demi musibah yang telah beruntun
menimpa bangsa ini menyadarkan kita akan ketelodoran kita. Itu semua adalah
teguran Allah SWT Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini agar mereka kembali ke
jalan yang benar.
Pandangan Islam: Sebuah Tawaran Solusi
Sebenarnya Islam telah jelas
melarang pornografi dan pornoaksi. Membicarakan pornografi dan pornoaksi
berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini
menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah
jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak
tangan (Q.S. an-Nur [24]: 31).
Walhasil, berdasarkan
Al-Qur'an, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali
wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu, jika seorang wanita
menampakkan bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya maka itu
sudah termasuk perkara yang diharamkan dalam Islam—kecuali jika diperlihatkan
kepada mahramnya.
Demikian juga dengan aurat
laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar
sampai lutut. Oleh karena itu, jika ada seorang laki-laki yang menampakkan
anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut maka ia sudah melanggar syariat Islam.
Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan: "Sesungguhnya apa yang ada
dibawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya".
Jelaslah, bahwa pornografi dan pornoaksi
tidak ada alasan apapun untuk ditoleransi. Oleh karena itu, sebagai upaya
meredam laju pornografi dan pornoaksi, sedikitnya tiga sektor berikut harus
diberdayakan. Pertama, peran individu yang bertakwa. Suatu aturan Allah akan
bisa diterapkan oleh setiap individu yang bertakwa yang memiliki keimanan yang
kokoh. Ketakwaan dan keimanan yang kokoh didapat dengan cara pembinaan yang
intensif dalam rangka membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah)
melalui penanaman tsaqafah islamiyyah (ilmu-ilmu keislaman) yang
memadai, dengan menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.
Kedua, peran masyarakat. Para
ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan komponen-komponen lainnya yang ada di
masyarakat hendaklah secara bersama-sama dan bersinergi mengontrol setiap
kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, peran negara. Dalam
pandangan Islam, negara bertanggung jawab untuk memelihara akidah Islam dan
melaksanakan hukum-hukum Allah secara sempurna ditengah-tengah kehidupan
termasuk melaksanakan sistem pengaturan yang dapat mengatasi pornografi dan
pornoaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[4] Negara seharusnya proaktif
melakukan pencegahan terhadap adanya bisnis pornografi dan pornoaksi tersebut.
Penutup
Pornografi dan pornoaksi
terjadi akibat gelombang modernisasi dan globalisasi yang deras menuju
ruang-ruang kehidupan masyarakat. Tanpa ada kesadaran semua pihak untuk menghentikannya
dengan pertimbangan kemaslahatan umat, pornografi dan pornoaksi akan terus
berulang.
Tapi
di sisi lain, pornografi dan pornoaksi tetap menjadi lahan basah yang mendulang
keuntungan besar bila dikomersilkan. Dalam kondisi dilema seperti ini, manakah
yang harus diutamakan antara kepentingan material dan keselamatan moralitas
masyarakat luas? Adalah sudah pasti bahwa melindungi
dan memelihara moral bangsa jauh lebih maslahat daripada berpihak kepada mereka
yang selama ini mendapat keuntungan material dari pornografi dan pornoaksi.
[1]
Tentang dampak negatif dari teori Freud
ini di komunitas Barat lihat Abdul Wahid dalam l-Islam wa al-Musykilah
al-Jinsiyah, hal 13. Sebetulnya apa yang disampaikan oleh Freud bukanlah sesutau yang baru karena al-Qur'an sendiri
sudah menyatakan dalam Surat Ala Imran
ayat 14: زين
للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل
المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع الحياة
الدنيا والله عنده حسن المآب Nabi Muhammad juga bersabda yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Turmuzi: إن لك النظرة الأولى وليست لك الآخرة . Namun demikian al-Qur'an juga menyatakan
secara tegas bahwa menjadi hak setiap insan untuk menyalurkan dan menikmati
nafsu seksuanya hanya dengan cara melakukan perkawinan, antara lain dalam Surat al-Rum ayat 21: ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا
لتسكنوا إليها dan juga di dalam Surat al-Baqarah ayat 223: نسؤكم حرث لكم فأتوا
حرثكم أنى شئتم