f

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pro dan Kontra pornografi di negara kita

Pro-Kontra pornografi dalam masyarakat tak ada habis-habisnya. Apa dan bagaimana pornografi itu belum ada batasan yang jelas. Bahkan hingga saat ini, batasan pornografi masih beragam dan masih menjadi perdebatan publik. Dalam kamus Inggris-Indonesia karya Hasan Shadily porno diartikan sebagai gambar atau bacaan cabul. (Harian Terbit, 24/1/06). Di pihak lain, dengan mengatasnamakan seni, selalu berkata “Ini seni, bukan pornografi”. Mereka berlindung di balik seni yang “agung”, demi menghalalkan karya mereka yang dapat merusak moral. Orang-orang awam mungkin akan berpikir bahwa seni selalu identik dengan seksualitas dan pornografi. (Koran Sindo, 17/3/06).
Lepas dari itu, kita berpendapat bahwa masalah ini sangat tidak layak untuk diperdebatkan. Sebab pornografi identik dengan zina, sedangkan zina tidak ada agama pun yang merestuinya. Terlebih lagi agama Islam yang menganggap zina sebagai sesuatu yang keji dan dosa besar. Demikian juga dengan akal sehat, menolak zina dan pornografi. Tidak ada yang merestui tersebarluasnya pornografi, kecuali mereka yang telah dibutakan oleh Allah SWT mata hatinya. Mengizinkan terbitnya majalah pornografi berarti membuka lebar-lebar pintu perzinahan.
Perbedaan pemahaman seputar pornografi dan pornoaksi sebenarnya diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang sebagai dasar pijakan. Paling tidak ada dua sudut pandang yang mengemuka, yaitu pandangan sekular dan pandangan Islam. Pandangan sekular mengacu pada teori Freudisme.[1] Adalah Sigmeund Freud, seorang ahli psikoanalisa tersohor keturunan Yahudi, yang mencetuskan teori ini. Menurut teori ini dikukuhkan bahwa libido/seksual adalah mesin penggerak utama bagi kehidupan. Tanpa adanya hal-hal berbau seksualitas maka kehidupan akan berjalan lesu, terasa hambar tanpa gairah. Hingga akhirnya kreatifitas untuk berkarya secara maksimal pun musnah.[2]
Masyarakat yang mendewa-dewakan teori ini menganggap segala sesuatu yang beraroma seksual (tercakup di dalamnya pornografi dan pornoaksi) bukan saja diperbolehkan adanya, tetapi bahkan menjadi suatu hal yang niscaya. Pornografi dan pornoaksi dipuja-puja sebagai penyelamat bagi kelangsungan hidup tanpa dibatasi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama. Maka tak pelak, laju kehidupan dikendalikan oleh kebebasan mengekspresikan pornografi dan pornoaksi dalam beragam bentuknya. Seks bebas (free sex), salah satu bentuknya, lantas menggejala sebagai suatu budaya yang dilegalkan.
Pandangan sekular dengan mengacu teori itu pun menginspirasi para pelaku bisnis. Bisnis esek-esek dengan ikon pornografi dan pornoaksi ternyata sanggup mendulang keuntungan yang berlipat-lipat. Melansir data Kompas (29/5/2006), sebuah industri kafe malam dan karaoke (bukan tidak mungkin digunakan pula sebagai kawasan prostitusi terselubung) di Jawa Barat mampu meraup hasil 3,4 miliar pertahun. Bahkan tabloid Lipstik hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasional dalam sebulan, tetapi pendapatannya dari iklan berlipat ganda, yakni Rp 60 juta.[3] Sungguh jumlah keuntungan yang fantastis!
Dari sudut pandang Islam, teori semacam itu ditolak mentah-mentah. Tanpa menghamba pada pemujaan seksualitas, sejarah keemasan Islam telah mencatat tokoh-tokoh mumpuni yang melahirkan karya-karya monumental. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menjadi pelopor disiplin keilmuan tertentu saat ini. Sebut saja, misalnya, al-Khawarizmi yang dikenal sebagai peletak dasar-dasar matematika, Ibnu Sina yang masyhur dengan julukan Bapak Kedokteran, dan Ibnu Khaldun dengan predikat Serba bisa.
Islam meletakkan masalah pornografi dan pornoaksi sebagai bagian dari kebutuhan naluriah sebagai bandingan terbalik dari kebutuhan fisik (W.M. Watt, 2002). Kedua jenis kebutuhan ini memang perlu dipenuhi, tapi karakter keduanya berbeda. Kebutuhan fisik akan muncul dengan sendirinya (faktor internal) dan jika tidak dipenuhi akan menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena itu, kebutuhan fisik mutlak menuntut pemenuhan, seperti makan dan minum.
Sedangkan kebutuhan naluriah tidak mutlak dipenuhi sebab kebutuhan jenis ini datang akibat faktor eksternal. Tuntutan pemenuhan kebutuhan naluriah dapat dialihkan pada hal-hal lain. Dorongan seksual termasuk dalam kategori kebutuhan jenis ini. Pornografi dan pornoaksi adalah sarana efektif untuk memunculkan dorongan seksual ini. Karena itu, wajar jika banyak kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya disebabkan oleh karena pelakunya sering menonton pornografi dan pornoaksi.
Ini artinya, pornografi dan pornoaksi menjadi piranti bagi timbulnya perzinahan. Islam sendiri secara tegas menyerukan untuk menjauhi zina sebab tergolong perbuatan yang keji (Q.S. al-Isra [17]: 32). Maka, sangat jelas dalam pandangan Islam pornografi dan pornoaksi tegas dilarang dengan alasan apapun.          
Dalam prespektif Al-Quran. Batasan pornografi sudah sangat jelas sekali. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut ini.



Yang Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiyasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (QS. An-Nur [24] : 31)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.


Yang Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’mun: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih  mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33] : 59)
Ibnu Abbas, dan ‘Aisyah r.a. menafsirkan firman Allah SWT “… Illaa maa zhahara minhaa…”(An-Nur [24] : 31), kecuali yang nampak darinya wajah dan kedua telapak tangan, artinya boleh nampak dari anggota tubuh wanita muslimah hanyalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh yang lainnya wajib ditutup.
Penafsiran ayat tersebut, wajah dan kedua telapak tangan adalah pendapat yang masyhur dari Jumhur Ulama, mufassirin diantaranya, Ibnu Umar, ‘Athaa, Ikrimah, Saad bin Zubair, Abu Asy-Sya’tsaa’, Ad Dhihak, Ibrahim An Nakha’i dan yang lainnya. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Kemungkinan Ibnu Abbas dan yang mengikutinya ingin menafsirkan “… Illaa maa zhahara minhaa…” dengan wajah dan dua telapak tangan dan ini adalah masyhur dari Jumhur Ulama”.
Disamping itu, Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, mengatakan “Aurat wanita muslimah seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, tepatnya dari ujung jari sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh lainnya termasuk katagori aurat wajib ditutup”, berdasarkan surat (QS. An-Nur [24] : 31).
Demikian juga, hal senada dikemukakan Mazhab Hanafiyah, “Seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.” Dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat, dalam hal ini dalil-dalil mazhab Hanafiyah tidak berbeda dengan dalil-dalil mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, yaitu surat (QS. An-Nur [24] : 31).
Secara singkat dari penjelasan di atas, bisa diambil sebuah simpulan. Bahwa menutup aurat di luar dan di dalam Salat hukunya wajib. Seluruh anggota tubuh wanita yang telah baligh adalah aurat, kecuali yang boleh nampak wajah dan kedua telapak tangan. Di samping itu, dari kedua agama tersebut, baik agama Islam atau Kristen mewajibkan wanita untuk memakai Jilbab. Maka, penegasan ini perlu diketahui khalayakramai, mengingat pentingnya memakai Jilbab. Pakaian jilbab berfungsi untuk memelihara kehormatan, menjaga kesucian, dan keteguhan iman bagi memakainya. Bagi wanita muslimah, jilbab menjadi pakaian kebesaran yang memiliki nila-nilai luhur, menampilkan keayuan, keanggunan, dan menawan.
Di samping itu, Hj. Bainar, dalam karyanya; Membantu Remaja Menyelami Dunia Dengan Iman dan Ilmu, (2005:178,178). Ia menjelaskan. “Wanita muslimah yang berjilbab secara konsisten akan melahirkan sikap pribadi yang teguh dan tawadduh. Di tempat lain, mereka yang berjilbab diberi stigma yang kurang mengenakan, dibilang sok moralis, sok suci, sok alim sehingga mereka minder, malu, dan risih dengan pakaian muslimahnya. -Tidak hanya itu, terkadang dituduh ekstrimis, Islam garis keras,- dan wanita yang berjilbab dihubung-hubungkan dengan terorisme, Al-Qaeda dan lainnya. Ini memberikan angin segar demi berkembangnya pakaian yang kurang Islami, you cen see dan pakaian minim itu lebih mendapat tempat di hati masyarakat, padahal pakaian muslimah ini menjamin kesucian dan meredam mata laki-laki yang jalang.
Satu hal yang sepatutnya kita ingat selalu, bahwa keselamatan bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Perbuatan segelincir orang yang menyebarluaskan pornografi dan kecabulan akan mengundang turunnya kutukan dan azab Allah SWT. Dan apabila adzab Allah tersebut turun, maka tidak hanya menimpa para penerbit media pornografi itu saja, tetapi akan menimpa seluruh rakyat.


 Hal ini sebagaimana diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya.



Yang Artinya: “Dan periharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal [8] : 25)
Oleh karena itu, siapa saja yang peduli dengan keselamatan bangsa ini wajib mencegah atau memberantas pornografi dan majalah-majalah cabul. Cukuplah musibah demi musibah yang telah beruntun menimpa bangsa ini menyadarkan kita akan ketelodoran kita. Itu semua adalah teguran Allah SWT Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Pandangan Islam: Sebuah Tawaran Solusi

Sebenarnya Islam telah jelas melarang pornografi dan pornoaksi. Membicarakan pornografi dan pornoaksi berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (Q.S. an-Nur [24]: 31).
Walhasil, berdasarkan Al-Qur'an, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu, jika seorang wanita menampakkan bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya maka itu sudah termasuk perkara yang diharamkan dalam Islam—kecuali jika diperlihatkan kepada mahramnya.
Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu, jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut maka ia sudah melanggar syariat Islam. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan: "Sesungguhnya apa yang ada dibawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya".
  Jelaslah, bahwa pornografi dan pornoaksi tidak ada alasan apapun untuk ditoleransi. Oleh karena itu, sebagai upaya meredam laju pornografi dan pornoaksi, sedikitnya tiga sektor berikut harus diberdayakan. Pertama, peran individu yang bertakwa. Suatu aturan Allah akan bisa diterapkan oleh setiap individu yang bertakwa yang memiliki keimanan yang kokoh. Ketakwaan dan keimanan yang kokoh didapat dengan cara pembinaan yang intensif dalam rangka membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah) melalui penanaman tsaqafah islamiyyah (ilmu-ilmu keislaman) yang memadai, dengan menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.
Kedua, peran masyarakat. Para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat hendaklah secara bersama-sama dan bersinergi mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, peran negara. Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab untuk memelihara akidah Islam dan melaksanakan hukum-hukum Allah secara sempurna ditengah-tengah kehidupan termasuk melaksanakan sistem pengaturan yang dapat mengatasi pornografi dan pornoaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[4] Negara seharusnya proaktif melakukan pencegahan terhadap adanya bisnis pornografi dan pornoaksi tersebut.







Penutup
Pornografi dan pornoaksi terjadi akibat gelombang modernisasi dan globalisasi yang deras menuju ruang-ruang kehidupan masyarakat. Tanpa ada kesadaran semua pihak untuk menghentikannya dengan pertimbangan kemaslahatan umat, pornografi dan pornoaksi akan terus berulang.
            Tapi di sisi lain, pornografi dan pornoaksi tetap menjadi lahan basah yang mendulang keuntungan besar bila dikomersilkan. Dalam kondisi dilema seperti ini, manakah yang harus diutamakan antara kepentingan material dan keselamatan moralitas masyarakat luas? Adalah sudah pasti bahwa melindungi dan memelihara moral bangsa jauh lebih maslahat daripada berpihak kepada mereka yang selama ini mendapat keuntungan material dari pornografi dan pornoaksi.


[1] Tentang dampak negatif dari teori Freud ini di komunitas Barat lihat Abdul Wahid dalam l-Islam wa al-Musykilah al-Jinsiyah, hal 13.  Sebetulnya apa yang disampaikan oleh Freud bukanlah sesutau yang baru karena al-Qur'an sendiri sudah menyatakan  dalam Surat Ala Imran ayat 14: زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع  الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب   Nabi Muhammad juga bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmuzi: إن لك النظرة الأولى وليست لك الآخرة  . Namun demikian al-Qur'an juga menyatakan secara tegas bahwa menjadi hak setiap insan untuk menyalurkan dan menikmati nafsu seksuanya hanya dengan cara melakukan perkawinan, antara lain dalam Surat al-Rum ayat 21: ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها   dan juga di dalam Surat al-Baqarah ayat 223: نسؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
[2] Majalah Motivasi edisi Nomor 1 tahun IV/2000.
[3] Majalah Tempo edisi 20-26 Maret 2006.
[4] Muhammad Fatih dalam Waspada Online edisi 1 Juni 2006.

Kamis, 27 Oktober 2011

Ibadah Qurban

        Qurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah (الأضحية) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah.
Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejaka lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir al-Qur'an disebutkan Qurtubi  meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara lak-laki dari lain ibu. Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang cantik. Lalu mereka sepakat untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil mempersembahkan seikat buah-buahan dan habil mempersembahkan seekor domba, lalu Allah menerima qurban Habil.

           Qurban ini juga dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin Maryam.Tradisi keagamaan dalam sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut.
Dalam al-Qur'an dikisahkan:
37. 102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
37. 103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).
37. 104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
37. 105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu  sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. 
Yang dimaksud dengan "membenarkan mimpi" ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah s.w.t. dan wajib melaksana- kannya.
37. 106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
37. 107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
 Sesudah nyata kesabaran dan keta'atan Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (kambing).
Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji.
 Persembahan suci dengan menyembelih atau mengorbankan manusia juga dikenal peradaban Arab sebelum Islam. Disebutkan dalam sejarah bahwa Abdul Mutalib, kakek Rasululluah, pernah bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu sebagai qurban. Lalu jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah. Mendengar itu kaum Quraish melarangnya agar tidak diikuti generasi setelah mereka, akhirnya Abdul Mutalib sepakat untuk menebusnya dengan 100 ekor onta. Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah "Hai anak dua orang sembelihan" beliau hanya tersenyum, dua orang sembelihan itu adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Mutalib.
Begitu juga persembahan manusia ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno,  India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang berharga lainnya. Dalam sejarah Yahudi, mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia, yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci. Pada masa jahilyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan onta ke Ka'bah sebagai qurban untuk Tuhan mereka. 
Ketika Islam turun diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat Allah:5. 2. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram [390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya [391], dan binatang-binatang qalaa-id [392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya [393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu.
Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Dalam hadist riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk aapa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".
Qurban juga ditujukan untuk memberi makan jamaah haji dan penduduk Makkah yang menunaikan ibadah haji. Dalam surah al-Hajj ditegaskan"
22. 34. Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).Begitu juga dijelaskan:
22. 27. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus [985] yang datang dari segenap penjuru yang jauh, [985]. "Unta yang kurus" menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
22. 28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan [986] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak [987]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. [986]. "Hari yang ditentukan" ialah hari raya haji dan hari tasyriq, yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. [987].
Dalil-dalil qurban:
1. Firman Allah dalam surah al-Kauthar: "Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah". Ayat ini boleh dijadikan dalil disunnahkannya qurban dengan asumsi bahwa ayat tersebut madaniyyah, karena ibadah qurban mulai diberlakukan setelah beliau hijrah ke Madinah.
2. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a.:"Rasulullah berqurban dengan dua ekor domba gemuk bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau dengan membaca bismillah dan takbir, beliau menginjakkan kakinya di paha domba".
Hukum Qurban:
1. Mayoritas ulama terdiri antar lain: Abu Bakar siddiq, Uamr bin Khattab, Bilal, Abu Masud, Said bin Musayyab, Alqamah, Malik, Syafii Ahmad, Abu Yusuf dll. Mengatakan Qurban hukumnya sunnah, barangsiapa melaksanakannya mendapatkan pahala dan barang siapa tidak melakukannya tidak dosa dan tidak harus qadla, meskipun ia mampu dan kaya.Qurban hukumnya sunnah kifayah kepada keluarga yang beranggotakan lebih satu orang, apabila salah satu dari mereka telah melakukannya maka itu telah mencukupi. Qurban menjadi sunnah ain kepada keluarga yang hanya berjumlah satu orang. Mereka yang disunnah berqurban adalah yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan sehari-harinya yang kebutuhan makanan dan pakaian.
2. Riwayat dari ulama Malikiyah emngatakan qurban hukumnya wajib bagi mereka yang mampu.
Adakah nisab qurban?
Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran seseorang disunnahkan melakukan qurban. Imam Hanafi mengatakan barang siapa mempunyai kelebihan 200 dirham atau memiliki harta senilai itu, dari kebutuhan tinggal, pakaian dan kebutuhan dasarnya.
Imam Ahmad berkata: ukuran mampu quran adalah apabila dia bisa membelinya dengan uangnya walaupun uang tersebut didapatkannya dari hutang yang ia mampu membayarnya.
Imam Malik mengatakan bahwa ukuran seseorang mampu qurban adalah apabila ia mempunyai kelebihan seharga hewan qurban dan tidak memerlukan uang tersebut untuk kebutuhannya yang mendasar selama setahun. Apabila tahun itu ia membutuhkan uang tersebut maka ia tidak disunnahkan berqurban.
Imam Syafii mengatakan: ukuran mampu adalah apabila seseorang mempunyai kelebihan uang dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, senilai hewan qurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq.
Keutamaan qurban:
1. Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda:"Amal yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan adalah mengalirkan darah hewan qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan qurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesunguhnya (pahala) dari darah hewan qurban telah datang dari Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah kebaikan ini". (H.R. Tirmidzi).
2. Hadist Ibnu Abbas Rasulullah bersabda:"Tiada sedekah uang yang lebuh mulia dari yang dibelanjakan untuk qurban di hari raya Adha"(H.R. Dar Qutni).
Waktu penyembelihan Qurban
Dari Jundub r.a. :Rasulullah melaksanakan sholat (idulAdha) di hari penyembelihan, lalu beliau menyembelih, kemudian beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka hendaknyha ia mengulangi penyembelihan sebagai ganti, barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah". (H.R. Bukhari dan Muslim).
Dari Barra' bin 'Azib, bahwa paman beliau bernama Abu Bardah menyembelih qurban sebelum sholat, lalu sampailah ihwal tersebut kepada Rasulullah s.a.w. lalu beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum sholat maka ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa menyembelih setelah sholat maka sempurnalah ibadahnya dan sesuai dengan sunnah (tradisi) kaum muslimin"(H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadist Barra' bin 'Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda:"Pekerjaan yang kita mulai lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah sholat lalu kita pulang dan menyembelih, barangsiapa melakukannya maka telah sesuai dengan ajaran kami, dan barangsiapa memulai dengan menyembelih maka sesungguhnya itu adalah daging yang ia persembahkan untuk keluarganya dan tidak ada kaitannya dengan ibadah"(H.R. Muslim).
Imam Nawawi menegaskan dalam syarah sahih Muslim bahwa waktu penyembelihan sebaiknya setelah sholat bersama imam, dan telah terjadi konsensus (ijma') ulama dalam masalah ini. Ibnu Mundzir juga menyatakan bahwa semua ulama sepakat mengatakan tidak boleh menyembelih sebelum matahari terbit.
Adapun setelah matahari terbit, Imam Syafi'i dll menyatakan bahwa sah menyembelih setelah matahari terbit dan setelah tenggang waktu kira-kira cukup untuk melakukan sholat dua rakaat dan khutbah. Apabila ia menyembelih pada waktu tersebut maka telah sah meskipun ia sholat ied atau tidak.
Imam Hanafi mengatakan: waktu penyembelihan untuk penduduk pedalaman yang jauh dari perkampungan yang ada masjid adalah terbitnya fajar, sedangkan untuk penduduk kota dan perkampungan yang ada masjid adalah setelah sholat iedul adha dan khutbah ied.
Imam Malik berkata: waktu penyembelihan adalah setelah sholat ied dan khutbah. Imam Ahmad berkata: waktunya adalah setelah sholat ied.Demikian, waktu penyembelihan berlanjut hingga akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Tidak ada dalil yang jelas mengenai batas akhir waktu penyembelihan dan semua didasarkan pada ijtihad, yaitu didasarkan pada logika bahwa pada hari-hari itu diharamkan berpuasa maka selayaknya itu menjadi waktu-waktu yang sah untuk menyembelih qurban.
Menyembelih di malam hari
Menyembelih hewan qurban di malam hari hukumnya makruh sesuai pendapat Imam Syafii. Bahkan menurut imam Malik dan Ahmad: menyembelih pada malam hari hukumnya tidak sah dan menjadi sembelihan biasa, bukan qurban.
Hewan yang disembelih:
Imam Nawawi dalam syarah sahih Muslim menegaskan telah terjadi ijma' ulama bahwa tidak sah melakukan qurban selain dengan onta, sapi dan kambing. Riwayat dari Ibnu Mundzir Hasan bin Sholeh mengatakan sah berqurban dengan banteng untuk tujuh orang dan dengan kijang untuk satu orang.
Adapun riwayat dari Bilal yang mengatakan: "Aku tidak peduli meskipun berqurban dengan seekor ayam, dan aku lebih suka memberikannya kepada yatim yang menderita daripada berqurban dengannya", maksudnya bahwa beliau melihat bahwa bersedekah dengan nilai qurban lebih baik dari berqurban. Ini pendapat Malik dan Tsauri. Begitu juga riwayat sebagian sahabat yang membeli daging lalu menjadikannya qurban, bukanlah menunjukkan boleh berqurban dengan membeli daging, melainkan itu sebagai contoh dari mereka bahwa qurban bukan wajib melainkan sunnah.
Makan daging qurban
Hukum memakan daging qurban yang dilakukan untuk dirinya sendiri, apabila qurban yang dilakukan adalah nadzar maka haram hukumnya memakan daging tersebut dan ia harus menyedekahkan semuanya. Adapun qurban biasa, maka dagingnya dibagi tiga, sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga untuk disedekahkan.
Membagi tiga ini hukumnya sunnah dan bukan merupakan kewajiban. Qatadah bin Nu'man meriwayatkan Rasulullah bersabda:"Dulu aku melarang kalian memakan daging qurban selama tiga hari untuk memudahkan orang yang datang dari jauh, tetapi aku telah menghalalkannya untuk kalian, sekarang makanlah, janganlah menjual daging qurban dan hadyu, makanlah, sedekahkanlah dan ambilah manfaat dari kulitnya dan janganlah menjualnya, apabila kalian mengharapkan dagingnya maka makanlah sesuka hatimu"(H.R. Ahmad).
Sebaiknya dalam dalam melakukan qurban, pelakunyalah yang menyembelih dan tidak mewakilkannya kepada orang lain. Apabila ia mewakilkan kepada orang lain maka sebaiknya ia menyaksikan. Wallahu'alam bissowab

Sholat Tasbih

 Apa Sih Dan seperti apa sholat itu...?
Kita sering mendengar yang namanya sholat tasbih, sebagian besar umat Islam sering melakukannya, karena merupakan salah satu sholat sunnah yang mana bisa dilakukan pada malam hari. maupun pada siang hari. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan “Sholat tasbih ini adalah merupakan sholat yang pernah dilakukan oleh Rosululloh Saw, makanya kalau bisa alangkah baiknya bagi orang Islam untuk melakukannya minimal dalam seminggu sekali atau kalau tidak mampu mungkin dalam sebulan cukup sekali”. 
Adapun tendensi hadis yang digunakan oleh ulama’ yang mengatakan bahwa sholat tasbih adalah sunnah berupa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sholat bab sholat tasbih, Imam Turmuzi, Ibnu Majjah dalam kitab Iqoomah Assholah bab sholat tasbih, Ibnu Khuzaimah, Imam Baihaqi dalam bab sholat tasbih, Imam Thobroni dalam Mu’jam Alkabir dari Ibnu Abbas dan Abu Rofi’ bahwa dalam syarah hadis, Nabi telah menjelaskan kepada pamannya Abbas Bin Abdul Mutholib suatu amalan yang mana kalau dikerjakan oleh beliau dapat menyebabkan diampuni dosannya baik yang akan datang maupun yang telah lewat, salah satu amalan tersebut adalah sholat tasbih.

Adapun pakar hadis dalam menganalisa hadis ini melalui jalur sanad maupun matan terjadi perbedaan, diantara ulama’ ada yang mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih, ada lagi yang mengatakan bahwa hadis ini adalah lemah, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa hadis ini sampai kederajad maudlu’.

a. Di antara pakar hadis yang mengatakan bahwa hadis ini shohih adalah Imam Muslim, Ibnu Khuzaimah, Imam Hakim, Ibnu Sholah, Alkhotib Albaghdadi, Al Munzhiri, Imam Suyuti, Abu Musa Almadini, Abu Said Al Sam’ani, Imam Nawawi, Abu Hasan Almaqdasi, Imam Subuki, Ibnu Hajar Al Asqolany, Ibnu Hajar Al Haitamy, Syekh Albani, Syekh Syuab Al Arnauth, Ahmad Syakir dan masih banyak lagi ulama’ yang lain.

Imam Hakim mengatakan bahwa yang menjadikan standar hadis tentang sholat tasbih shohih adalah terbiasa dikerjakan mulai para Tabiit Tabi’in sampai zaman sekarang .

Imam Daruqutni mengatakan hadis yang paling shohih dalam keutamaan surat adalah hadis yang menjelaskan keutamaan surat Al Ikhlas dan hadis yang paling shohih dalam keutamaan sholat adalah hadis yang menjelaskan tentang sholat tasbih.

Demikian juga Syekh Muhammad Mubarokfuri mengatakan bahwa hadis yang menjelaskan tentang sholat tasbih tidak sampai turun pada derajat hadis hasan.

b. Sedangkan pakar hadis yang mengatakan bahwa hadis ini dhoif adalah Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Mizzi, Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah dan Imam Syaukani, sehingga dalam madzhab Hambali dijelaskan bahwa barang siapa yang melakukan sholat tasbih hukumnya adalah makruh akan tetapi seandainya ada orang yang melaksanakan sholat tersebut tidak apa-apa, karena perbuatan yang sunnah tidak harus dengan menggunakan dalil hadis yang shohih, namun pada akhirnya Imam Ahmad menarik fatwanya dengan mengatakan bahwa sholat tasbih adalah merupakan sesuatu amalan yang sunnah.

c. Adapun pernyataan Imam Ibnu Jauzi yang memasukkan hadis ini dalam kategori hadis maudlu’ mendapat banyak kritikan dari pakar hadis, mereka menganggap bahwa Ibnu Jauzi terlalu mempermudah dalam menghukumi suatu hadis sehingga hukum hadis yang sebetulnya shohih ataupun hasan kalau tidak sesuai dengan syarat yang beliau tetapkan langsung dilempar dalam hukum maudlu’.

Dari kajiaan sanad yang telah dilakukan oleh pakar hadis dapat disimpulkan bahwa hadis ini adalah hasan atau shohih karena banyaknya jalan periwayatan dan tidak adanya cacat, adapun yang mengatakan bahwa hadis ini adalah dloif karena hanya melihat satu jalan periwayatan saja dan tidak menggabungkan jalan periwayatan yang satu dengan yang lain, adapun pendapat Ibnu Jauzi tidak bersandarkan pada dalil yang kuat sehingga lemah untuk bisa diterima sebagai sandaran hukum.

Adapun cara kita melakukan sholat tasbih sebagaimana yang telah dijelaskan dalam kitab fikih ada dua cara, yaitu sebagaimana berikut:

1. Melakukan sholat tasbih sebanyak empat rakaat, dimulai dengan takbir ikhrom setelah itu

membaca doa istiftah kemudian membaca surat alfatihah dan membaca surat kemudian membaca:


سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Sebanyak 15 kali kemudian ruku’ dengan membaca

سبحان ربي العظيم وبحمدهSebanyak 3 kali kemudian membaca

سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Sebanyak 10 kali, kemudian bangun dari ruku membaca:

ربنا لك الحمد حمدا طيبا كثيرا مباركا ....الج

Kemudian membaca

سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Demikian juga dalam sujud dan ketika bangun dari sujud, akan tetapi diperhatikan bahwa bacaan ini:

سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

.juga dibaca sebelum membaca tahiyyat ( tasyahud)

2. Setelah membaca takbir ikhrom dan doa iftitah membaca
سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Sebanyak 15 kali kemudian membaca surat alfatihah dan surat kemudian membaca:

سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Sebanyak 10 kali sebagaimana dalam cara yang pertama tadi, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa dalam keadaan duduk istirahat (diantara dua sujud ) dan sebelum tasyahud tidak di anjurkan untuk membaca

سبحان الله والحمد لله ولا اله إلا الله الله اكبر لاحول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم

Cara yang kedua inilah menurut Iimam Ghozali yang paling baik. Demikianlah kajian hadis yang dapat kami sampaikan dalam kegiatan I’tikaf pada kali ini, semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam Bishowab.

Rabu, 26 Oktober 2011

Tahqiq Dalil Sholat tasbih 

Ada sebagian orang mengatakan bahwa sholat Tasbih adalah dalilnya dhaif maka tidak boleh diamalkan, tetapi ada sebagian yang mengatakan tidak dhaif sehingga boleh diamalkan. Dibawah nanti saya mencoba menguraikan penjelasan dalil sholat tasbih yg dibicarakan orang ini.


Didalam Kitaabus sholah,  hal. : 117 , dan didalam  Kitaabun Nawafil, hal.: 41 , Ditulis hadist sbb. Dari sumber yang sama yaitu HR.Abu Daud.

بَاب صَلَاةِ التَّسْبِيحِ

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرِ بْنِ الْحَكَمِ النَّيْسَابُورِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ بْنُ أَبَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلَا أُعْطِيكَ أَلَا أَمْنَحُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَفْعَلُ بِكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمَهُ وَحَدِيثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيرَهُ وَكَبِيرَهُ سِرَّهُ وَعَلَانِيَتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَاءَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْجُدُ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُرِكَ مَرَّةً
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سُفْيَانَ الْأُبُلِّيُّ حَدَّثَنَا حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ أَبُو حَبِيبٍ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُلٌ كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْتِنِي غَدًا أَحْبُوكَ وَأُثِيبُكَ وَأُعْطِيكَ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّةً قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقُمْ فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلَا تَقُمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الْأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْ كُنْتَ أَعْظَمَ أَهْلِ الْأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ السَّاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
 قَالَ أَبُو دَاوُد حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ خَالُ هِلَالٍ الرَّأْيِ
 قَالَ أَبُو دَاوُد رَوَاهُ الْمُسْتَمِرُّ بْنُ الرَّيَّانِ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو مَوْقُوفًا وَرَوَاهُ رَوْحُ بْنُ الْمُسَيَّبِ وَجَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَالِكٍ النُّكْرِيِّ عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَوْلُهُ وَقَالَ فِي حَدِيثِ رَوْحٍ فَقَالَ حَدِيثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
 حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنِي الْأَنْصَارِيُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَرٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ فَذَكَرَ نَحْوَهُمْ قَالَ فِي السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ الرَّكْعَةِ الْأُولَى كَمَا قَالَ فِي حَدِيثِ مَهْدِيِّ بْنِ مَيْمُونٍ
HR.Abu Daud


Berkata Abu Daud : Telah meriwayatkan al Mustamir bin ar Royan  dari Abi al Jauza’i (Aus bin Abdillah) dari Abdillah bin Amr dengan mauquf.

Apabila digambarkan, maka posisi rawi-rawinya sbb. :



Dalam skema rawi tersebut diatas dari Riwayat Abu Daud terdapat Rouh bin Musayyab, (warna merah) adalah rawi dhaif, dimana haditsnya tidak bisa diterima, adapun yg telah disifatkan oleh para ulama ahli tahqiq kepadanya bisa dilihat di tabel dibawah nanti. Tetapi nampak jelas diatas terdapat enam jalur periwayatan, satu dari enam jalur itu adalah jalur dhaif, tersisa lima jalur  dimana rawi-rawinya tidak tercela. Sehingga haditsnya bisa diamalkan.



Ilustrasi di atas menggambarkan kalau kita mengambil dari jalur Rouh bin Musayyab, maka haditsnya dhaif.

Didalam  HR.Tirmidzi , terdapat dua matan dan sanad sbb :

بَاب مَا جَاءَ فِي صَلَاةِ التَّسْبِيحِ

 479حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ حُبَابٍ الْعُكْلِيُّ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْعَبَّاسِ يَا عَمِّ أَلَا أَصِلُكَ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَنْفَعُكَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَا عَمِّ صَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا انْقَضَتْ الْقِرَاءَةُ فَقُلْ اللَّهُ أَكْبَرُ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ ثُمَّ ارْكَعْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ الثَّانِيَةَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا قَبْلَ أَنْ تَقُومَ فَتِلْكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ هِيَ ثَلَاثُ مِائَةٍ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ لَغَفَرَهَا اللَّهُ لَكَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَقُولَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ أَنْ تَقُولَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ فَقُلْهَا فِي جُمْعَةٍ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ أَنْ تَقُولَهَا فِي جُمُعَةٍ فَقُلْهَا فِي شَهْرٍ فَلَمْ يَزَلْ يَقُولُ لَهُ حَتَّى قَالَ فَقُلْهَا فِي سَنَةٍ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ أَبِي رَافِعٍ

Berkata Tirmidzi : Ini hadits gharib dari haditsnya Abi Rofi’

 480حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُوسَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا عِكْرِمَةُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنِي إِسْحَقُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ غَدَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ عَلِّمْنِي كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي صَلَاتِي فَقَالَ كَبِّرِي اللَّهَ عَشْرًا وَسَبِّحِي اللَّهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِي مَا شِئْتِ يَقُولُ نَعَمْ نَعَمْ
قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي رَافِعٍ

 قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَقَدْ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ حَدِيثٍ فِي صَلَاةِ التَّسْبِيحِ وَلا يَصِحُّ مِنْهُ كَبِيرُ شَيْءٍ

Berkata Tirmidzi : Haditsnya Anas adalah hasan ghorib, sungguh telah diriwayatkan dari Nabi SAW selain hadits didalam sholat tasbih, dan tidak sah darinya sesuatu yang besar.

وَقَدْ رَأَى ابْنُ الْمُبَارَكِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلَاةَ التَّسْبِيحِ وَذَكَرُوا الْفَضْلَ فِيهِ

Sungguh telah berpendapat Ibnu Mubarok dan selain satu orang dari ahli ilmu pada sholat tasbih dan mereka menyebutkan keutamaan dalam sholat tasbih.

 481حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا أَبُو وَهْبٍ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ عَنْ الصَّلَاةِ الَّتِي يُسَبَّحُ فِيهَا فَقَالَ يُكَبِّرُ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَتَعَوَّذُ وَيَقْرَأُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَفَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً ثُمَّ يَقُولُ عَشْرَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُولُهَا عَشْرًا يُصَلِّي أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ عَلَى هَذَا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ تَسْبِيحَةً فِي كُلِّ رَكْعَةٍ يَبْدَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِخَمْسَ عَشْرَةَ تَسْبِيحَةً ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُسَبِّحُ عَشْرًا فَإِنْ صَلَّى لَيْلًا فَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ يُسَلِّمَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ وَإِنْ صَلَّى نَهَارًا فَإِنْ شَاءَ سَلَّمَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يُسَلِّمْ قَالَ أَبُو وَهْبٍ وَأَخْبَرَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِي رِزْمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ يَبْدَأُ فِي الرُّكُوعِ بِسُبْحَانَ رَبِيَ الْعَظِيمِ وَفِي السُّجُودِ بِسُبْحَانَ رَبِيَ الْأَعْلَى ثَلَاثًا ثُمَّ يُسَبِّحُ التَّسْبِيحَاتِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ وَحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِي رِزْمَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ إِنْ سَهَا فِيهَا يُسَبِّحُ فِي سَجْدَتَيْ السَّهْوِ عَشْرًا عَشْرًا قَالَ لَا إِنَّمَا هِيَ ثَلَاثُ مِائَةِ تَسْبِيحَةٍ 

Hadits 480, Tirmidzi berkata : hasan ghorib, tetapi hadits ini meriwayatkan selain Sholat tasbih. Hadits 481 Tirmidzi tidak memberikan komentarnya, tetapi didalam sanadnya tidak terdapat rawi yang dicela. Adapun hadits No.479 Tirmidzi berkata hadits ini hasan ghorib. Tetapi hadits ini sebenarnya tidak bisa mencapai derajat hasan, melainkan dhaif, karena didalam sanadnya terdapat dua rawi dhaif yaitu Musa bin Ubaidah dan Said bin Abi Said, jadi haditsnya tidak bisa di amalkan bila hanya mengambil dari jalur sanad ini.


Warna merah adalag rawi yang dhaif.

Catatan : Al Albani dalam mentahqiq Riyadhus shalihin mengatakan, apa-apa yang didiamkan oleh Abu Daud, yaitu yang tidak dikomentari sebagai hadits dhaif olehnya, maka hadits itu perlu teliti kemungkinannya itu adalah hadits dhaif. Dan Apa-apa yang di katakana oleh Tirmidzi itu adalah hadits shohih atau hasan maka harus tetap diteliti kemungkinannya itu adalah hadits dhaif. Inilah perbedaan dalam menentukan hadits hadits dhaif dari dua muhtarij ini.




Komentar dari para ulama ahli tahqiq hadits sbb :


NAMA RAWI
NAMA 'ALIM YG MENSIFATI RAWI
MENSIFATI DENGAN JARH WA ATTA'DIL :
RAWI DARI HADITS
NO HADITS
CONTOH MASALAH
Ahmad bin Ubaidah
Muhammad bin Said
Terpercaya dan tidak ada hujah baginya
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Ahmad bin Ubaidah
Ahmad bin Hanbal
Tidak boleh dan tidak pantas sebuah riwayat darinya, dan Ia berkata lagi
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Ahmad bin Ubaidah
Yahya bin Ma'in
Dia tidak dusta, tetapi ia meriwayatkan dari Ibnu Dinar.
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Ahmad bin Ubaidah
Ali bin Madiini
Dhaif, menceritakan dengan beberapa hadits munkar.
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Ahmad bin Ubaidah
Abu Zur'ah ar Razi
Tidak ada dia dengan kuat haditsnya
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Ahmad bin Ubaidah
Abu Hatim ar Razi
Munkar haditsnya
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Said bin Abi Said
Ibnu Hibban
Tsiqot
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Said bin Abi Said
Adzahabi
Majhul
Tirmidzi
444
Sholat Tasbih
Rauh bin Musayyab
Yahya bin Ma'in
Sholih sedikit
Abu Daud
1105
Sholat Tasbih
Rauh bin Musayyab
Al Bazar
Terpercaya
Abu Daud
1105
Sholat Tasbih
Rauh bin Musayyab
Abu Hatim ar Razi
Sholih tapi tidak kuat
Abu Daud
1105
Sholat Tasbih
Rauh bin Musayyab
Ibnu Adi
Beberapa haditsnya tidak terjaga
Abu Daud
1105
Sholat Tasbih
Rauh bin Musayyab
Ibnu Hibban
Meriwayatkan dari orang terpercaya lagi dhaif-dhaif.
Abu Daud
1105
Sholat Tasbih


Dari dua Kitab hadits ini , Yaitu Abu Daud dan Tirmidzi, kita dapatkan 8 jalur periwayatan, dua diantaranya dhaif, enam sisanya shohih dan hasan. Maka sholat tasbih adalah dalilnya shohih dan hasan maka bisa diamalkan, karena jalur yang shohih masih ada sebagai gantinya jalur sanad yang dhaif,
Bila jalur shohihnya hanya satu jalur sanad maka disebut “Shohih ghorib”.
Bila jalur shohihnya hanya dua jalur sanad maka disebut “Shohih ‘aziz”.
Bila jalur shohihnya  tiga sampai sembilan jalur sanad maka disebut "mashur".
Bila jalur shohihnya  lebih dari sembilan jalur sanad maka disebut “Mutawatir”.

Untuk sholat tasbih ini adalah kedudukannya setidaknya haditsnya “Mashur”tetapi bisa sampai “Mutawatir” . Didalam Hadits Ibnu Majah terdapat dua hadits tentang Sholat tasbih ini yg pertama adalah dhaif karena ada Said bin Abi Said dan Musa bin bin Ubaid bin Nasith (dari Tobaqot orang-2 yg tidak pernah ketemu sahabat, nasabnya adalah ar- Rabidi, julukannya adalah Abu Abdil Aziz, tempat tinggal dan wafatnya di Madinah pada 153 H). dan yang kedua sama dengan didalam Abu Daud yang terdapat Musa bin Abdul Aziz dalam sanadnya.

Dalam sarah Aunul Ma’bud dan Tuhfatul Ahwazi di uraikan komentar-komentar para ulama tentang kedudukan sanad hadits-hadits ini, kedudukan rojul tertentu seperti Musa bin Abdul Aziz yang di dhaifkan oleh Ali bin al Madiini, dan di “munkaarul-hadits” kan oleh Sulaimaniy.As-Suyuthi berkata “Ibni Jauzi mengatakan ia rojul majhul”.Al hafidz Ibnu Hajar mengatakan “Ibnu Jauzi meletakkan hadits ini didalam bab hadits-hadits dhaif, karena ia melihat Musa bin Abdul Aziz adalah majhul”, Berkata Az-Zarkasi “Telah salah Ibnu Jauzi, sebab ia telah meletakkan hadits ini termasuk hadits-hadits dhaif, ia mengatakan Musa bin Abdul Aziz adalah majhul , padahal tidak, Sebab telah mengambil riwayat darinya juga Bisr bin Hakam, dan anaknya yaitu Abdurrahman , dan Ishaq bin Abi Israil, dan Zaid bin Mubarok as-Shon’ani dan selain mereka. Berkata Ibni Sahin didalam At-Targhib “Aku mendengar dari Abu Bakr bin Abi Daud, berkata Abu Daud “Hadits paling shohih tentang sholat tasbih adalah ini”” .  Yahya bin Ma’in dan Nasa’i men”tsiqotkan” Musa bin Abdul Aziz, Yahya bin Main mengatakan “Saya tidak lihat dia membahayakan”, An Nasa’i berkata “Dia tidak bahaya”, Ibnu Hibban berkata “tsiqot, hanya kadang-kadang saja ia salah”. Bukhory dan Muslim juga memasukkan Musa bin Abdul Aziz sebagai orang yg bisa diambil riwayatnya.  Muslim mengatakan sebaik-baiknya sanad hadits sholat tasbih adalah ini. Berkata ad-Dailami “Sholat tasbih sanadnya shohih”.

Dalam sarah dijelaskan tata cara sholatnya, antara lain yang dijelaskan oleh Ibnu Mubarok, kapan dibacanya dan berapa jumlahnya. Mengapa Ibnu Mubarok harus bersusah payah menjelaskan keutamaan sholat tasbih, cara menegerjakannya dan hitungan doanya, bila hadits ini tidak bisa diamalkan ?. Mari kita lihat Ucapan Al Baihaqi dalam Aunul Ma’bud
وقال البيهقي : كان عبد الله بن المبارك يصليها وتداولها الصالحون بعضهم عن بعض , وفيه تقوية للحديث المرفوع
Abdullah bin Mubarok mengerjakan sholat tasbih, dan saling bergiliran orang-orang yang sholih sebagian mereka dari sebagiannya, ini adalah bukti penguat terhadap  hadits marfu’.

Abu Daud mengatakan haditsnya mauquf, tetapi Baihaqi mengatakan marfu’ dengan penguat. Yaitu contoh amalan dari Ibnul Mubarok dan orang-orang sholih yang mengerjakannya.

Kalau Ibnu mubarok dan juga orang-orang sholih melakukannya….kenapa kita tidak ?

                                                                                                                Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam.

Wassalam.