f

Sabtu, 29 Oktober 2011

Pro dan Kontra pornografi di negara kita

Pro-Kontra pornografi dalam masyarakat tak ada habis-habisnya. Apa dan bagaimana pornografi itu belum ada batasan yang jelas. Bahkan hingga saat ini, batasan pornografi masih beragam dan masih menjadi perdebatan publik. Dalam kamus Inggris-Indonesia karya Hasan Shadily porno diartikan sebagai gambar atau bacaan cabul. (Harian Terbit, 24/1/06). Di pihak lain, dengan mengatasnamakan seni, selalu berkata “Ini seni, bukan pornografi”. Mereka berlindung di balik seni yang “agung”, demi menghalalkan karya mereka yang dapat merusak moral. Orang-orang awam mungkin akan berpikir bahwa seni selalu identik dengan seksualitas dan pornografi. (Koran Sindo, 17/3/06).
Lepas dari itu, kita berpendapat bahwa masalah ini sangat tidak layak untuk diperdebatkan. Sebab pornografi identik dengan zina, sedangkan zina tidak ada agama pun yang merestuinya. Terlebih lagi agama Islam yang menganggap zina sebagai sesuatu yang keji dan dosa besar. Demikian juga dengan akal sehat, menolak zina dan pornografi. Tidak ada yang merestui tersebarluasnya pornografi, kecuali mereka yang telah dibutakan oleh Allah SWT mata hatinya. Mengizinkan terbitnya majalah pornografi berarti membuka lebar-lebar pintu perzinahan.
Perbedaan pemahaman seputar pornografi dan pornoaksi sebenarnya diakibatkan oleh perbedaan sudut pandang sebagai dasar pijakan. Paling tidak ada dua sudut pandang yang mengemuka, yaitu pandangan sekular dan pandangan Islam. Pandangan sekular mengacu pada teori Freudisme.[1] Adalah Sigmeund Freud, seorang ahli psikoanalisa tersohor keturunan Yahudi, yang mencetuskan teori ini. Menurut teori ini dikukuhkan bahwa libido/seksual adalah mesin penggerak utama bagi kehidupan. Tanpa adanya hal-hal berbau seksualitas maka kehidupan akan berjalan lesu, terasa hambar tanpa gairah. Hingga akhirnya kreatifitas untuk berkarya secara maksimal pun musnah.[2]
Masyarakat yang mendewa-dewakan teori ini menganggap segala sesuatu yang beraroma seksual (tercakup di dalamnya pornografi dan pornoaksi) bukan saja diperbolehkan adanya, tetapi bahkan menjadi suatu hal yang niscaya. Pornografi dan pornoaksi dipuja-puja sebagai penyelamat bagi kelangsungan hidup tanpa dibatasi oleh norma-norma dan nilai-nilai agama. Maka tak pelak, laju kehidupan dikendalikan oleh kebebasan mengekspresikan pornografi dan pornoaksi dalam beragam bentuknya. Seks bebas (free sex), salah satu bentuknya, lantas menggejala sebagai suatu budaya yang dilegalkan.
Pandangan sekular dengan mengacu teori itu pun menginspirasi para pelaku bisnis. Bisnis esek-esek dengan ikon pornografi dan pornoaksi ternyata sanggup mendulang keuntungan yang berlipat-lipat. Melansir data Kompas (29/5/2006), sebuah industri kafe malam dan karaoke (bukan tidak mungkin digunakan pula sebagai kawasan prostitusi terselubung) di Jawa Barat mampu meraup hasil 3,4 miliar pertahun. Bahkan tabloid Lipstik hanya butuh Rp 3 juta untuk biaya operasional dalam sebulan, tetapi pendapatannya dari iklan berlipat ganda, yakni Rp 60 juta.[3] Sungguh jumlah keuntungan yang fantastis!
Dari sudut pandang Islam, teori semacam itu ditolak mentah-mentah. Tanpa menghamba pada pemujaan seksualitas, sejarah keemasan Islam telah mencatat tokoh-tokoh mumpuni yang melahirkan karya-karya monumental. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang menjadi pelopor disiplin keilmuan tertentu saat ini. Sebut saja, misalnya, al-Khawarizmi yang dikenal sebagai peletak dasar-dasar matematika, Ibnu Sina yang masyhur dengan julukan Bapak Kedokteran, dan Ibnu Khaldun dengan predikat Serba bisa.
Islam meletakkan masalah pornografi dan pornoaksi sebagai bagian dari kebutuhan naluriah sebagai bandingan terbalik dari kebutuhan fisik (W.M. Watt, 2002). Kedua jenis kebutuhan ini memang perlu dipenuhi, tapi karakter keduanya berbeda. Kebutuhan fisik akan muncul dengan sendirinya (faktor internal) dan jika tidak dipenuhi akan menyebabkan sakit bahkan kematian. Karena itu, kebutuhan fisik mutlak menuntut pemenuhan, seperti makan dan minum.
Sedangkan kebutuhan naluriah tidak mutlak dipenuhi sebab kebutuhan jenis ini datang akibat faktor eksternal. Tuntutan pemenuhan kebutuhan naluriah dapat dialihkan pada hal-hal lain. Dorongan seksual termasuk dalam kategori kebutuhan jenis ini. Pornografi dan pornoaksi adalah sarana efektif untuk memunculkan dorongan seksual ini. Karena itu, wajar jika banyak kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual lainnya disebabkan oleh karena pelakunya sering menonton pornografi dan pornoaksi.
Ini artinya, pornografi dan pornoaksi menjadi piranti bagi timbulnya perzinahan. Islam sendiri secara tegas menyerukan untuk menjauhi zina sebab tergolong perbuatan yang keji (Q.S. al-Isra [17]: 32). Maka, sangat jelas dalam pandangan Islam pornografi dan pornoaksi tegas dilarang dengan alasan apapun.          
Dalam prespektif Al-Quran. Batasan pornografi sudah sangat jelas sekali. Sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut ini.



Yang Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiyasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …” (QS. An-Nur [24] : 31)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman.


Yang Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mu’mun: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih  mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab [33] : 59)
Ibnu Abbas, dan ‘Aisyah r.a. menafsirkan firman Allah SWT “… Illaa maa zhahara minhaa…”(An-Nur [24] : 31), kecuali yang nampak darinya wajah dan kedua telapak tangan, artinya boleh nampak dari anggota tubuh wanita muslimah hanyalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh yang lainnya wajib ditutup.
Penafsiran ayat tersebut, wajah dan kedua telapak tangan adalah pendapat yang masyhur dari Jumhur Ulama, mufassirin diantaranya, Ibnu Umar, ‘Athaa, Ikrimah, Saad bin Zubair, Abu Asy-Sya’tsaa’, Ad Dhihak, Ibrahim An Nakha’i dan yang lainnya. Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat ini berkata: “Kemungkinan Ibnu Abbas dan yang mengikutinya ingin menafsirkan “… Illaa maa zhahara minhaa…” dengan wajah dan dua telapak tangan dan ini adalah masyhur dari Jumhur Ulama”.
Disamping itu, Mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, mengatakan “Aurat wanita muslimah seluruh badan, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, tepatnya dari ujung jari sampai pergelangan tangan, sedangkan anggota tubuh lainnya termasuk katagori aurat wajib ditutup”, berdasarkan surat (QS. An-Nur [24] : 31).
Demikian juga, hal senada dikemukakan Mazhab Hanafiyah, “Seluruh tubuh wanita aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.” Dalil yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat, dalam hal ini dalil-dalil mazhab Hanafiyah tidak berbeda dengan dalil-dalil mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah, yaitu surat (QS. An-Nur [24] : 31).
Secara singkat dari penjelasan di atas, bisa diambil sebuah simpulan. Bahwa menutup aurat di luar dan di dalam Salat hukunya wajib. Seluruh anggota tubuh wanita yang telah baligh adalah aurat, kecuali yang boleh nampak wajah dan kedua telapak tangan. Di samping itu, dari kedua agama tersebut, baik agama Islam atau Kristen mewajibkan wanita untuk memakai Jilbab. Maka, penegasan ini perlu diketahui khalayakramai, mengingat pentingnya memakai Jilbab. Pakaian jilbab berfungsi untuk memelihara kehormatan, menjaga kesucian, dan keteguhan iman bagi memakainya. Bagi wanita muslimah, jilbab menjadi pakaian kebesaran yang memiliki nila-nilai luhur, menampilkan keayuan, keanggunan, dan menawan.
Di samping itu, Hj. Bainar, dalam karyanya; Membantu Remaja Menyelami Dunia Dengan Iman dan Ilmu, (2005:178,178). Ia menjelaskan. “Wanita muslimah yang berjilbab secara konsisten akan melahirkan sikap pribadi yang teguh dan tawadduh. Di tempat lain, mereka yang berjilbab diberi stigma yang kurang mengenakan, dibilang sok moralis, sok suci, sok alim sehingga mereka minder, malu, dan risih dengan pakaian muslimahnya. -Tidak hanya itu, terkadang dituduh ekstrimis, Islam garis keras,- dan wanita yang berjilbab dihubung-hubungkan dengan terorisme, Al-Qaeda dan lainnya. Ini memberikan angin segar demi berkembangnya pakaian yang kurang Islami, you cen see dan pakaian minim itu lebih mendapat tempat di hati masyarakat, padahal pakaian muslimah ini menjamin kesucian dan meredam mata laki-laki yang jalang.
Satu hal yang sepatutnya kita ingat selalu, bahwa keselamatan bangsa ini adalah tanggung jawab kita bersama. Perbuatan segelincir orang yang menyebarluaskan pornografi dan kecabulan akan mengundang turunnya kutukan dan azab Allah SWT. Dan apabila adzab Allah tersebut turun, maka tidak hanya menimpa para penerbit media pornografi itu saja, tetapi akan menimpa seluruh rakyat.


 Hal ini sebagaimana diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya.



Yang Artinya: “Dan periharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya”. (QS. Al-Anfal [8] : 25)
Oleh karena itu, siapa saja yang peduli dengan keselamatan bangsa ini wajib mencegah atau memberantas pornografi dan majalah-majalah cabul. Cukuplah musibah demi musibah yang telah beruntun menimpa bangsa ini menyadarkan kita akan ketelodoran kita. Itu semua adalah teguran Allah SWT Yang Maha Kuasa kepada bangsa ini agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Pandangan Islam: Sebuah Tawaran Solusi

Sebenarnya Islam telah jelas melarang pornografi dan pornoaksi. Membicarakan pornografi dan pornoaksi berarti mencakup pembahasan aurat, terutama aurat wanita yang selama ini menjadi objek pornografi dan pornoaksi. Dalam Islam batasan aurat wanita sudah jelas. Aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (Q.S. an-Nur [24]: 31).
Walhasil, berdasarkan Al-Qur'an, batasan aurat wanita dalam Islam adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Oleh karena itu, jika seorang wanita menampakkan bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya maka itu sudah termasuk perkara yang diharamkan dalam Islam—kecuali jika diperlihatkan kepada mahramnya.
Demikian juga dengan aurat laki-laki, dalam Islam juga sudah diberi batasan yang jelas, yaitu dari pusar sampai lutut. Oleh karena itu, jika ada seorang laki-laki yang menampakkan anggota tubuhnya dari pusar sampai lutut maka ia sudah melanggar syariat Islam. Dalam sebuah hadis riwayat Ahmad disebutkan: "Sesungguhnya apa yang ada dibawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya".
  Jelaslah, bahwa pornografi dan pornoaksi tidak ada alasan apapun untuk ditoleransi. Oleh karena itu, sebagai upaya meredam laju pornografi dan pornoaksi, sedikitnya tiga sektor berikut harus diberdayakan. Pertama, peran individu yang bertakwa. Suatu aturan Allah akan bisa diterapkan oleh setiap individu yang bertakwa yang memiliki keimanan yang kokoh. Ketakwaan dan keimanan yang kokoh didapat dengan cara pembinaan yang intensif dalam rangka membentuk kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah) melalui penanaman tsaqafah islamiyyah (ilmu-ilmu keislaman) yang memadai, dengan menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai pijakannya.
Kedua, peran masyarakat. Para ulama, tokoh-tokoh masyarakat, dan komponen-komponen lainnya yang ada di masyarakat hendaklah secara bersama-sama dan bersinergi mengontrol setiap kerusakan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Ketiga, peran negara. Dalam pandangan Islam, negara bertanggung jawab untuk memelihara akidah Islam dan melaksanakan hukum-hukum Allah secara sempurna ditengah-tengah kehidupan termasuk melaksanakan sistem pengaturan yang dapat mengatasi pornografi dan pornoaksi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.[4] Negara seharusnya proaktif melakukan pencegahan terhadap adanya bisnis pornografi dan pornoaksi tersebut.







Penutup
Pornografi dan pornoaksi terjadi akibat gelombang modernisasi dan globalisasi yang deras menuju ruang-ruang kehidupan masyarakat. Tanpa ada kesadaran semua pihak untuk menghentikannya dengan pertimbangan kemaslahatan umat, pornografi dan pornoaksi akan terus berulang.
            Tapi di sisi lain, pornografi dan pornoaksi tetap menjadi lahan basah yang mendulang keuntungan besar bila dikomersilkan. Dalam kondisi dilema seperti ini, manakah yang harus diutamakan antara kepentingan material dan keselamatan moralitas masyarakat luas? Adalah sudah pasti bahwa melindungi dan memelihara moral bangsa jauh lebih maslahat daripada berpihak kepada mereka yang selama ini mendapat keuntungan material dari pornografi dan pornoaksi.


[1] Tentang dampak negatif dari teori Freud ini di komunitas Barat lihat Abdul Wahid dalam l-Islam wa al-Musykilah al-Jinsiyah, hal 13.  Sebetulnya apa yang disampaikan oleh Freud bukanlah sesutau yang baru karena al-Qur'an sendiri sudah menyatakan  dalam Surat Ala Imran ayat 14: زين للناس حب الشهوات من النساء والبنين والقناطير المقنطرة من الذهب والفضة والخيل المسومة والأنعام والحرث ذلك متاع  الحياة الدنيا والله عنده حسن المآب   Nabi Muhammad juga bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Turmuzi: إن لك النظرة الأولى وليست لك الآخرة  . Namun demikian al-Qur'an juga menyatakan secara tegas bahwa menjadi hak setiap insan untuk menyalurkan dan menikmati nafsu seksuanya hanya dengan cara melakukan perkawinan, antara lain dalam Surat al-Rum ayat 21: ومن آياته أن خلق لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنوا إليها   dan juga di dalam Surat al-Baqarah ayat 223: نسؤكم حرث لكم فأتوا حرثكم أنى شئتم
[2] Majalah Motivasi edisi Nomor 1 tahun IV/2000.
[3] Majalah Tempo edisi 20-26 Maret 2006.
[4] Muhammad Fatih dalam Waspada Online edisi 1 Juni 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar